Waspadai 6 Bentuk Perundungan: Ini Langkah Hukum untuk Korban
Sidoarjo, Wartanusa.net —Kasus perundungan atau bullying yang semakin marak, baik di lingkungan pendidikan maupun dunia maya, mendapat perhatian dari kalangan praktisi hukum. Managing Partner Balakosa Law Firm Surabaya, Eka Rina Wahyuni, S.H., CLA, menegaskan bahwa korban bullying berhak menempuh jalur hukum untuk melindungi diri dan mendapatkan keadilan, saat dihubungi tim Wartanusa.net melalui pesan WhatsApp, kemarin (2/6).
“Bullying atau perundungan itu adalah perilaku verbal atau fisik yang ditujukan untuk mengganggu orang lain yang lebih lemah,” ucap Bu Ukie, panggilan akrabnya. “Ini juga termasuk menggoda secara verbal, memanggil dengan nama yang tidak disukai, mendorong, memukul, bahkan penolakan dan pengasingan dari sebuah lingkungan.”
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPA), terdapat 6 (enam) kategori bullying yang perlu dikenali.
Pertama, kontak fisik langsung, yaitu bentuk perundungan yang paling tampak dan mudah diidentifikasi, seperti memukul, mendorong, menjambak, menendang, menampar, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas, hingga memeras.
Kedua, kontak verbal langsung, yang sering kali menjadi awal dari bentuk perundungan lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan lebih lanjut. Contohnya meliputi pemberian julukan, celaan, fitnah, sarkasme, merendahkan. Mencela atau mengejek, serta pernyataan yang mengandung pelecehan seksual atau teror. Tindakan ini juga bisa berbentuk penyebaran tuduhan-tuduhan yang tidak benar atau tuduhan palsu, kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip, hingga surat atau pesan yang mengintimidasi.
Ketiga, perilaku nonverbal langsung, seperti menatap dengan sinis, menjulurkan lidah, atau menunjukkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek dan mengancam, yang biasanya disertai perilaku fisik maupun verbal.
Keempat, perilaku nonverbal tidak langsung, yaitu perundungan yang dilakukan secara halus namun berdampak besar, seperti mendiamkan seseorang, mengucilkan, memanipulasi hubungan pertemanan agar retak, atau mengirim surat kaleng.
Kelima, cyber bullying, yaitu bentuk perundungan yang dilakukan melalui media elektronik, misalnya dengan menyebarkan video intimidasi atau melakukan pencemaran nama baik di media sosial.
Terakhir, keenam, adalah pelecehan seksual, yang bisa terjadi secara verbal maupun fisik, dan termasuk dalam bentuk agresi yang sangat serius.
“Semua bentuk bullying ini punya konsekuensi hukum jika terbukti melanggar hak dan martabat korban,” ujarnya.
Menurut Ketua Yayasan Sekolah Alam Raya Boneka Tanah (SAR-BT), Bu Ukie, langkah awal saat menjadi korban perundungan adalah menyampaikan sikap ketidaksukaan kita kepada perundung agar menghentikan perbuatannya – harus bersikap tegas kepada pelaku. Jika tindakan tersebut berlanjut, korban harus segera melapor kepada pihak berwenang.
“Jika terjadi dilingkungan sekolah atau kampus, maka bisa melaporkan ke tim pencegahan kekerasan dan perundungan. Tapi jika terjadi di luar lingkungan pendidikan, korban dapat langsung melapor ke kepolisian serta tentu saja harus membawa bukti dan saksi untuk memperkuat pengaduan tersebut,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya mengumpulkan bukti sebelum membuat laporan. Bentuk bukti bisa berupa: Foto atau video kejadian; Rekaman suara; Tangkapan layar percakapan; Visum atas luka fisik; dan Saksi mata. Apabila terjadi pembullyan secara fisik, maka sertakan bukti foto dari bekas luka atau memar atau hasil pemeriksaan ke dokter.
“Tanpa bukti, proses hukum bisa menjadi sulit. Karena itu, dokumentasi setiap bentuk perundungan sangat penting,” katanya.
Ia juga menyebutkan bahwa jenis pelanggaran hukum yang dikenakan kepada pelaku bergantung pada bentuk perundungan. Jika korban sampai terluka, atau terjadi perundungan secara fisik dapat dikenai beberapa pasal pidana, tergantung pada tingkat keparahan dan jenis perundungan yang terjadi. Secara umum, pasal yang dapat dikenakan meliputi Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, dan Pasal 76C UU Perlindungan Anak jika terjadi pada Anak. Jika sampai melakukan kekerasan seksual ataupun pelecehan seksual maka akan dikenakan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Jika menyebarkan berita bohong atau fitnah bisa dilaporkan pencemaran nama baik Pasal 310 dan 311 KUHP. Akan tetapi, jika menyebarkan beritanya melalui media sosial ataupun media elektronik, bisa terkena Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 27A dan 45 ayat (1) dan (3).
“Kita ingin menegaskan bahwa bullying bukan hal sepele. Ini persoalan serius, dan pelaku harus bertanggung jawab secara hukum,” tegasnya.
Ia juga mengimbau agar sekolah, kampus, dan masyarakat umum lebih peka terhadap kasus perundungan. “Bukan hanya korban yang harus bicara, tapi lingkungan juga harus bertindak. Kita semua punya tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi yang lemah,” pungkasnya. (nata/dar/red)