Hukum Tak Selalu Adil: Ironi Keadilan di Negeri Ini
Wartanusa.net — Kita sebagai masyarakat Indonesia selalu sering mendengar bahwa Indonesia adalah negara hukum. Setiap kali kita mendengar kata hukum, pasti otomatis otak akan berpikir dan membayangkan bahwa akan ada keadilan. Kata keadilan, artinya menurut Aristoteles, ialah bahwa suatu tindakan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya. Namun sayangnya, fakta dan kenyataan yang kita alami sehari-hari justru berkebalikan. Banyak sekali masyarakat yang merasa bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hal ini sudah berkebalikan dengan jargon yang selalu digembar-gemborkan, yaitu hukum harus ditegakkan tanpa membeda-bedakan. Sementara para penguasa yang memiliki jabatan, pamor atau ketenaran, harta dan uang, serta koneksi, seakan lebih gampang berdamai dengan hukum.
Fenomena ini bukan hanya sekadar asumsi. Kita bisa melihat banyak kasus yang terjadi di Indonesia. Dilansir dari tirto.id, pada tahun 2020 ada seorang perempuan berinisial RMS yang terpaksa mencuri 3 tandan sawit untuk memberi makan 3 anaknya. RMS akhirnya divonis 7 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Berbeda halnya dengan kasus Harvey Moeis di tahun 2024, dilansir dari tempo.co, bahwa ia seharusnya terbukti bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi dan pencucian uang secara bersama-sama atas pekerjaan smelter timah dan membuat kerugian sebesar 300 triliun. Namun, oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hanya dihukum dengan pidana selama 6,5 tahun dan denda sebesar 1 miliar, dengan subsider 6 bulan kurungan.
Hukum tidak semestinya bertindak seperti ini, karena seharusnya tidak hanya menegakkan aturan tertulis saja, tapi juga harus melihat dari sisi sosial di masyarakat. Sayang sekali, sistem di negeri kita ini masih cenderung mengedepankan keadilan formal, yang artinya selama aturan itu dilanggar, atau si para terduga pelaku melanggar pasal yang ada di undang-undang, maka hukum atau tindakan itu berlaku tanpa mempertimbangkan konteks sosial, konteks ekonomi, dan lain sebagainya.
Seperti kasus yang disebutkan sebelumnya, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat kecil atau orang miskin sering kali bukan karena niat jahat, namun karena keterpaksaan. Karena keadaan, ia harus melakukan pelanggaran hukum. Ada juga yang banyak karena ketidaktahuan—karena kurangnya pendidikan, sosialisasi atau pendampingan, serta peran dari pemerintah yang kurang turun ke masyarakat.
Seperti saat saya berkunjung ke Rutan Perempuan Porong, Sidoarjo. Pada saat saya mewawancarai salah satu narapidana dan pegawai rutan, mereka mengatakan bahwa banyaknya orang yang terjerat pidana atau melakukan pelanggaran, yang akhirnya harus mendekam di penjara, disebabkan oleh faktor pendidikan dan ekonomi. Ya, mereka lebih banyak karena kurangnya pendidikan formal dan pendidikan rohani, sehingga tidak memiliki arahan dan bekal.
Contoh lainnya, dilansir dari news.detik.com, pada tahun 2021 ada aksi pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu di daerah Blitar; ia mencuri susu dan minyak telon di suatu toko di daerah tersebut. Ia mendapat ancaman penjara selama 7 tahun. Tentu saja, kasus ini sangat miris dan menyayat hati, karena jika kita selami, faktor ibu tersebut mencuri adalah ketidakmampuan membeli kebutuhan bayinya.
Sangat miris sekali bukan ? hanya karena faktor ekonomi, tapi tidak ada belas kasihan dan langsung diputuskan untuk menempuh jalur terakhir, yaitu pidana penjara. Padahal, pidana itu adalah ultimum remedium—jalan terakhir. Seharusnya, hal-hal seperti ini perlu diberlakukan restorative justice, bukan malah kejahatan-kejahatan berat yang justru diselesaikan dengan restorative justice. Hal ini juga terjadi karena kurangnya peran negara untuk melindungi seorang ibu dan anak, kurangnya pendataan untuk perbaikan gizi, kurangnya pendidikan dan pengetahuan bagi seorang ibu, serta kurang terbukanya lapangan pekerjaan, sehingga ekonominya menjadi buruk. Akibatnya banyak sekali, sudah merambah dan mengakar ke mana-mana.
Berbeda halnya dengan perlakuan terhadap orang-orang kaya dan yang punya kekuasaan atau jabatan. Pasti perlakuannya malah dilakukan melalui restorative justice, perdamaian, pembebasan, tidak dikawal sampai tuntas, dan lain sebagainya.
Seperti yang saya dengar beberapa hari lalu, yang sampai saat ini juga belum muncul di permukaan media, ada seorang pengusaha nakal di daerah Sidoarjo yang tidak membayarkan gaji puluhan pekerjanya. Mereka dibayar di bawah UMR, tidak diberikan hak atau surat perjanjian kerja, tidak diberi tahu peraturan perusahaan, diberhentikan sepihak dan dirumahkan, tidak dipekerjakan, dan gaji mereka juga dipotong untuk jaminan sosial, namun tidak dibayarkan.
Menurut keterangan salah seorang buruh di sana, ketika ada yang sudah melaporkan hal ini ke kepolisian, sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum. Hal ini mengisyaratkan bahwa lambannya aparat dalam membantu hak-hak para buruh di perusahaan tersebut—entah sudah disuap atau bagaimana, kita tidak pernah tahu apa yang menyebabkan kasus itu terhenti dan tertutup. Jika benar, sangat tega membiarkan status para pekerja, yang telah membuat sang pengusaha tersebut bisa kaya raya, malah digantung begitu saja dan tidak disejahterakan hak-haknya.
Satu contoh lagi, dilansir dari news.detik.com, pada tahun 2013 ditemukan seorang pengusaha di Solo telah melakukan tindak pidana penggelapan pajak perusahaan dengan merekayasa laporan pemberitahuan tahunan ke kantor pajak senilai 9,2 miliar. Namun, oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, dia dinyatakan tak terbukti bersalah dan divonis bebas. Dan masih banyak lagi contoh kasus di negeri kita yang sangat menyedihkan, berlawanan dengan nilai-nilai pancasila dan esensi dari keadilan.
Mungkin memang kita sering menyalahkan oknum-oknum aparat penegak hukum, seperti jaksa yang nakal, hakim yang memvonis dengan tidak adil, atau polisi yang pilih kasih. Tapi jika kejadian seperti ini terus berlanjut dan berulang, dan selama kita berdiam diri tanpa bersama-sama bahu-membahu untuk turut serta memperbaiki sistem di negeri ini, maka oknum-oknum tersebut akan terus bermunculan.
Artinya, ini sudah menunjukkan adanya kesalahan dalam sistem, bahkan dalam budaya di Indonesia. Karena memang pada faktanya, hukum kita masih bisa dengan gampang dibeli, ditawar, dan dinegosiasikan. Penegakan hukum terlihat jelas belum sepenuhnya bebas dari intervensi politik. Memang betul bahwa hukum adalah produk politik, tapi bukan berarti hukum dijadikan sebagai alat untuk meraih kepentingan politik atau kepentingan suatu golongan.
Lebih parah lagi, jabatan politik atau pemerintahan, dan jabatan para aparat penegak hukum pun juga diperjualbelikan. Hal ini membuat masyarakat semakin tidak percaya pada proses hukum. Ketika kepercayaan ini runtuh, maka yang muncul adalah keengganan untuk melapor, mengambil sikap, menjadi apatis, bahkan main hakim sendiri.
Mereformasi hukum memang bukan pekerjaan semalam saja. Tapi kita harus mengambil langkah kecil, yang mana kita bisa memulai dari keberanian dengan mengkritisi, keterlibatan kita sebagai masyarakat sipil dalam menanggapi permasalahan hukum, dan peran media yang tidak hanya memberitakan, tapi juga mengawasi.
Lembaga hukum mau tidak mau harus lebih terbuka terhadap segala evaluasi dan kritik dari media maupun oleh publik secara langsung. Proses hukum harus transparan dan bisa diakses oleh siapa saja. Pendidikan mengenai hukum bagi masyarakat juga sangat penting, harus lebih disosialisasikan agar hukum tidak hanya menjadi milik mereka yang paham pasal-pasal. Selain itu, kita sebagai masyarakat juga harus terus memegang teguh bahwa hukum itu seharusnya menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan. Jika hukum sudah tidak lagi membela yang benar, tetapi membela mereka yang kuat, maka fungsi utamanya sudah gagal. Dan ketika itu semua terjadi, maka suara publik harus menjadi pengingat bahwa keadilan bukan hak istimewa, melainkan hak semua warga negara.