Kehidupan di Lampu Merah: Kesenjangan Sosial Tampak Nyata

Sidoarjo, Wartanusa.net —  Setiap hari, di sudut-sudut jalan Kabupaten Sidoarjo, terutama di wilayah pinggiran Sidoarjo Barat seperti Wonoayu, Krian, Balongbendo, Tarik, Taman, dan sekitarnya, terlihat pemandangan yang sulit diabaikan. Di setiap lampu merah dan jalan bypass, aktivitas ini terus berulang.

Seorang perempuan tampak menggendong anaknya, berjalan mondar-mandir di antara deretan kendaraan. Seorang nenek terlihat berdiri dengan tongkat di persimpangan jalan, berharap ada yang memberinya sedikit rezeki. Seorang gelandangan dengan kaki cacat menunduk rendah, menyentuhkan kepalanya ke aspal sambil tersenyum getir, rela merendahkan diri di hadapan banyak pengendara demi selembar uang kertas.

Anak-anak kecil sibuk membersihkan kaca mobil. Kadang, saat hujan turun, mereka tetap bertahan di tengah guyuran air. Sementara itu, ada pula gerombolan pria dan wanita yang mengecat tubuhnya dengan warna perak atau emas, lalu menari-nari di lampu merah seolah sedang menghibur pengendara. Tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun ikut mengemis dengan cara yang sama, mengecat tubuhnya menjadi “manusia perak” atau “manusia emas,” berjalan ke lampu merah dengan harapan ada yang memberi uang.

Pemandangan seperti ini nyata. Terlalu nyata. Ini bukan sekadar kilasan singkat dari balik kaca mobil, tapi gambaran gamblang tentang kesenjangan sosial yang masih ada. Tak jauh dari mereka, para pemulung dan pengangkut sampah bekerja tanpa suara. Mereka rela kotor, bahkan tidur di atas bak terbuka, menyusuri gang demi gang, mengais rezeki dari sampah yang ditinggalkan.

Fenomena ini bukan cerita dramatis yang dibesar-besarkan. Ini kenyataan. Dan banyak orang menyaksikannya setiap hari. Termasuk mereka yang rutin melewati jalanan itu untuk berangkat kerja. Banyak yang ingin membantu, tapi kadang yang bisa diberikan hanya doa, sekotak makanan, atau selembar uang kecil. Karena itulah satu-satunya yang mampu dilakukan saat itu. Tapi, apakah cukup untuk mereka ?

Lalu pertanyaannya, mengapa di negeri yang katanya kaya ini, masih begitu banyak orang yang hidup dengan cara seperti itu? Mengapa masih ada begitu banyak warga yang harus berjuang hanya untuk bisa makan dengan cara yang seperti itu? Hal ini sungguh menampar dan menyayat hati. 

Peraturan dan Program Sudah Ada, Tapi Kenapa Masih Banyak di Jalanan?

Bukankah pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah memiliki berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin—termasuk pemulung, pengemis, dan kelompok rentan lainnya? Program-program ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan kehidupan yang lebih layak. Bentuknya beragam: mulai dari penyediaan rumah tinggal yang layak huni, pelatihan keterampilan, pemberian bantuan sosial, hingga rujukan ke panti sosial.

Seperti siaran pers Kementerian Sosial yang dikutip dari Antaranews tahun 2020, misalnya, menyebutkan bahwa para pemulung bisa menjadi sasaran program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) untuk pengolahan daur ulang sampah dan kewirausahaan sosial. Mereka juga dapat mengakses program-program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), hingga bantuan perbaikan rumah.

“Poin penting yang pernah disampaikan oleh Mensos adalah bahwa mendampingi pemulung bukan hanya soal mengubah sikap dan perilaku, tetapi juga memastikan ada langkah lanjutan berupa bantuan sosial yang berkelanjutan dan akses ke program pemberdayaan sosial,” ujar Harry Hikmat, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos.

Selain itu juga, dikutip dari laman resmi Kemensos (5 April 2024), disebutkan bahwa pada tahun 2022 pemerintah meluncurkan Program PENA (Pahlawan Ekonomi Nusantara) sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan ekstrem. Program ini merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

“Program PENA ini menyasar ribuan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang sebelumnya menerima bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)/Sembako, Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI), dan bantuan lainnya,” ujar Menteri Sosial Tri Rismaharini saat konferensi pers di Kantor Kemensos, Jakarta, Kamis (4/4).

Melalui program ini, para penerima bansos mendapatkan bantuan permodalan usaha maksimal Rp5 juta, lengkap dengan pendampingan.

“Tujuannya agar penerima bansos bisa mandiri dan memiliki penghasilan di atas UMK,” tambah Mensos.

Dukungan terhadap kelompok rentan ini juga sudah tercantum dalam berbagai regulasi, antara lain: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; PP Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin; PP Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin melalui Pendekatan Wilayah; Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 7 Tahun 2023 tentang Program Pahlawan Ekonomi Nusantara.

Di tingkat daerah, khususnya di Kabupaten Sidoarjo sebenarnya juga sudah memiliki payung hukum melalui Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Dalam pasal-pasalnya, perda ini mengatur berbagai kewajiban pemerintah daerah: mulai dari alokasi anggaran untuk program kesejahteraan sosial, pemberian bantuan stimulan kepada masyarakat, pembinaan lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga (LK3), pemeliharaan anak-anak terlantar, hingga pendataan dan pengelolaan data fakir miskin.

Pasal 6 juga menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM), termasuk rehabilitasi sosial untuk penyandang disabilitas, anak terlantar, lansia terlantar, serta tuna sosial seperti gelandangan dan pengemis—semuanya di luar panti sosial.

Secara aturan, semuanya sudah tersedia. Namun di lapangan, kita masih sering melihat para fakir miskin, gelandangan, bahkan penyandang disabilitas yang terpaksa mengemis di pinggir jalan, di lampu merah, di sekitar bypass, hingga di sudut-sudut kota. Mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda, tapi alasan mereka sama: bertahan hidup. Mereka butuh makan, minum, dan sedikit harapan.

Ini saatnya pemerintah daerah tidak hanya mengawasi dari balik meja, tapi benar-benar turun langsung ke lapangan. Temui mereka satu per satu, tanyakan kenapa mereka ada di jalanan, dan segera berikan bantuan nyata yang sesuai dengan program yang sudah tercantum dalam segala peraturan dan program yang telah dibentuk. Masyarakat berharap, ada pendataan konkret dan pendekatan personal untuk mengetahui penyebab tiap individu atau keluarga berada di jalanan. Dari sana, intervensi sosial bisa lebih tepat sasaran: apakah mereka butuh tempat tinggal, layanan kesehatan, akses pendidikan, atau modal usaha. Ini penting, bukan sekadar bentuk kepedulian, tapi juga sebagai pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu pengumpulan data yang akurat. Data ini akan jadi dasar untuk menghitung kebutuhan pelayanan dasar, menyusun program yang tepat sasaran, dan memastikan mereka benar-benar mendapat rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan, serta perlindungan yang layak sebagai warga negara. Semua itu adalah bagian dari tujuan besar kesejahteraan sosial yang dijanjikan oleh negara.

Kesenjangan sosial bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang empati dan tindakan. Saat sebagian masyarakat melaju dengan mobil berpendingin udara, sebagian lainnya harus bertahan di bawah terik matahari dan debu jalanan untuk sekedar makan hari itu.

Pertanyaannya bukan hanya mengapa mereka masih ada di sana. Tapi, apa yang bisa kita lakukan agar mereka tak perlu berada di sana lagi?