Tarian Jangkang Desa Sidetapa: Warisan Leluhur yang Harus dilestarikan
Bali, Wartanusa.net – Di kaki Gunung Buleleng, Bali, terdapat sebuah desa kecil bernama Sidetapa yang menyimpan rahasia keindahan dalam setiap gerakan tari. Tari Jangkang, warisan leluhur yang telah berusia ratusan tahun, bukan hanya menjadi seni pertunjukan, tetapi juga jantung kehidupan masyarakat. Tarian ini adalah sebuah ritual sakral yang menghubungkan masyarakat Desa Sidetapa dengan akar budayanya, menjadikannya lebih dari sekadar gerakan, melainkan doa dan cerita yang hidup.
Tari Jangkang dipentaskan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada perayaan Kuningan, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan para dewa. Tarian ini dianggap sebagai simbol prajurit perang yang melambangkan perjuangan antara Dharma (kebenaran) dan Adharma (kejahatan). Setiap gerakannya sarat makna filosofis. Gerakan melompat tinggi, misalnya, melambangkan semangat juang yang tak kenal lelah, sedangkan gerakan memutar tubuh melambangkan siklus kehidupan.
Ketut Arya Soma, seorang penari muda berusia 20 tahun, dengan bangga menyatakan bahwa Tari Jangkang adalah bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Menari sejak kecil, Arya merasa terhormat bisa berkontribusi dalam melestarikan warisan budaya Bali ini. “Saya mulai menari sejak kecil, dan setiap kali ada perayaan Kuningan, saya pasti ikut serta. Saya merasa bangga karena menari ini bukan hanya soal gerakan, tetapi juga menjaga warisan leluhur,” ujar Arya dengan senyum penuh kebanggaan.
Tari Jangkang merupakan tarian tradisional yang telah diwariskan turun-temurun di Desa Sidetapa, Bali. Sejak usia dini, Arya seperti kebanyakan pemuda di desanya, mulai belajar tari ini. Ia dilatih oleh generasi tua yang bertekad untuk mempertahankan tradisi ini agar tidak terkikis oleh zaman. Kehadiran para penari muda seperti Arya menjadi simbol pelestarian budaya di tengah arus modernisasi.
Menurut Arik, seorang pemuda sekaligus sebagai pelatih tari yang berusia 22 tahun, bahwa tarian ini terlihat sederhana dan mudah dilakukan, khususnya oleh anak laki-laki. Gerakannya tidak terlalu rumit, sehingga para penari lebih leluasa melangkahkan kaki. “Tari Jangkang ini bukanlah tarian yang sulit. Gerakannya sederhana, dan lebih banyak melibatkan pergerakan kaki yang lincah. Biasanya, anak laki-laki bisa menguasainya dalam waktu sekitar satu minggu,” jelas Arik.
Namun, meskipun terkesan mudah, Tari Jangkang tetap memiliki makna yang luar biasa. Dalam setiap pementasannya, para penari mengenakan kostum khas yang terdiri dari 15 selendang, kamben, celana panjang, dan sepatu. Angka 15 pada selendang memiliki makna spiritual yang dalam, sebagai simbol kekuatan dan kesucian. Bagi masyarakat Bali, angka tersebut dianggap sakral dan penuh makna. Kostum yang sederhana namun kaya akan simbolisme ini turut memperkaya makna dari tarian itu sendiri.
Yang tak kalah penting adalah pengiring musik dalam Tari Jangkang. Tarian ini diiringi oleh gamelan dan tetabuhan tradisional Bali, yang menciptakan suasana magis dan menyatukan penari dengan penonton dalam dimensi spiritual. Tarian ini bukan hanya hiburan, tetapi sebuah medium komunikasi dengan leluhur dan para dewa. Suasana yang tercipta memberikan pengalaman mendalam bagi siapa saja yang menyaksikan, mengingat bahwa setiap gerakan penari mengandung doa dan harapan.
Tari Jangkang juga dikenal dengan dua jenis pementasan, yaitu Jangkang Desa dan Jangkang Gupah. Jangkang Desa biasanya dipentaskan secara sukarela atas permintaan masyarakat desa untuk acara adat, seperti upacara Kuningan atau perayaan lainnya. Sementara itu, Jangkang Gupah dipersembahkan oleh warga yang memiliki sesangi atau janji spiritual sebagai bagian dari komitmen mereka terhadap kehidupan spiritual. Meskipun tujuan dari keduanya berbeda, gerakan dan kostum yang digunakan tetap sama, menjaga kesakralan dan kelestarian tradisi ini.
Di balik setiap gerakan Tari Jangkang, tersimpan filosofi hidup yang mendalam. Tarian ini mengajarkan pentingnya semangat, kesucian, dan keharmonisan dengan alam sekitar. Bagi masyarakat Sidetapa, Tari Jangkang bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan juga identitas yang kuat dan doa yang terus hidup dalam keseharian mereka. Sebagai warisan leluhur, Tari Jangkang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual dan budaya di desa ini.
Keberadaan penari muda seperti Ketut Arya Soma membawa harapan bahwa tradisi ini akan terus hidup dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Dalam setiap gerakan tari yang dibawakan, mereka tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga menghubungkan masa lalu dengan masa depan. “Menari bagi saya adalah cara untuk menghormati leluhur dan menjaga agar budaya ini tidak punah,” pungkas Arya, yang terus bersemangat untuk mengembangkan dan melestarikan Tari Jangkang bagi generasi yang akan datang. (Rby/Ktt)
Penulis: Kadek Riby Dayani