HukumLatest

Ketika Kredit Macet Berujung Lelang: Pengusaha Kehilangan Tanah Usaha, Advokat Balakosa Law Firm Angkat Bicara

Surabaya, Wartanusa.net – Suasana hening menyelimuti ruang konsultasi hukum Wartanusa.net siang itu. Seorang pengusaha datang dengan raut wajah cemas. Ia bercerita, tanah yang selama ini menjadi lokasi usahanya kini resmi berpindah tangan, dilelang oleh negara.

Aset tersebut sebelumnya dijaminkan kepada salah satu bank BUMN sebagai agunan kredit senilai Rp3 miliar. Beberapa tahun pertama, usahanya berjalan baik. Namun, roda bisnis tak selalu mulus. Ketika pendapatan menurun, pembayaran cicilan kredit pun mulai tersendat.

“Surat somasi datang satu per satu, lalu proses hukum berjalan cepat. Tahu-tahu tanah itu sudah dilelang,” tuturnya lirih.

Lelang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) setempat. Tanah miliknya akhirnya laku sekitar Rp2,5 miliar. Meski demikian, ia mengaku belum mendapat penjelasan resmi apakah aset tersebut sudah dibalik nama atau belum oleh pemenang lelang, serta bagaimana status sisa kewajiban utangnya.

Menurut Hadianto Satriyo Utomo, S.H., Advokat Balakosa Law Firm Surabaya yang berpengalaman di bidang hukum perbankan, seluruh proses lelang telah memiliki dasar hukum yang jelas.

“Begitu tanah dijaminkan untuk pinjaman bank, maka harus dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Setelah itu, akta tersebut didaftarkan ke kantor pertanahan untuk diterbitkan Sertipikat Hak Tanggungan (SHT),” jelas Hadianto saat ditemui wartawan wartanusa.net di kantornya Jl. Barata Jaya XX Bo. 25, Baratajaya, Kec. Gubeng, Surabaya, Jawa Timur.

Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU HT).

Pasal 1 angka 1 UU HT menyebutkan:

“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lainnya.”

Artinya, jika debitur gagal bayar, kreditur berhak mengeksekusi objek Hak Tanggungan tanpa perlu menggugat ke pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2) UU HT, yang menyatakan:

“Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Dengan dasar itu, bank dapat mengajukan permohonan lelang eksekusi kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) untuk menjual aset jaminan secara sah dan terbuka.

Hadianto menjelaskan, pelaksanaan lelang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

“Lelang dilakukan secara terbuka oleh pejabat lelang KPKNL, dan hasilnya dituangkan dalam Risalah Lelang, yakni dokumen resmi yang mencatat seluruh proses dan pemenangnya,” katanya. Risalah lelang inilah yang menjadi dasar hukum balik nama hak atas tanah di kantor pertanahan.

“Setelah lelang selesai, KPKNL akan memberitahukan kepada pemenang lelang dan pihak yang mengajukan lelang, dalam hal ini Bank. Nanti, dari bank tersebut yang akan menginfokan terkait hasil lelang tersebut kepada debitur. Bila nilai hasil lelang lebih besar dari sisa kewajiban utang, selisihnya akan dikembalikan kepada debitur,” tambahnya.

Meski proses ini memberi kewenangan penuh kepada kreditur, Hadianto menegaskan bahwa sistem lelang negara justru melindungi kedua belah pihak. Semua tahapan dicatat dan diawasi oleh pejabat lelang negara, bukan keputusan sepihak dari bank.

“Tidak ada yang dilakukan diam-diam. Lelang di KPKNL itu terbuka, diumumkan secara publik, dan hasilnya resmi melalui risalah lelang. Itu menjamin kepastian hukum,” ujarnya.

Selain itu, KPKNL wajib mengumumkan jadwal dan hasil lelang melalui portal resmi lelang.go.id, sehingga prosesnya dapat dipantau masyarakat secara transparan.

Dengan demikian, setelah hasil lelang ditetapkan, hak kepemilikan atas aset jaminan secara hukum berpindah tangan. Debitur tidak lagi memiliki hak atas objek tersebut, kecuali menerima kelebihan dana hasil lelang apabila ada selisih setelah utangnya dilunasi.

Kisah pengusaha ini menjadi cermin bagi banyak pelaku usaha tentang pentingnya memahami konsekuensi hukum dari perjanjian kredit dan jaminan Hak Tanggungan.

Dalam hubungan antara debitur dan kreditur, prinsipnya sederhana: meminjam berarti wajib mengembalikan. Namun, dalam praktiknya, aspek legalitas jaminan sering kali kurang dipahami.

“Hak Tanggungan bukan sekadar formalitas. Begitu terdaftar, kedudukannya kuat di mata hukum. Jadi, sebelum mengajukan kredit, pahami dulu risiko dan mekanisme jaminannya,” pesan Hadianto.

Kini, setelah lelang selesai dan aset berpindah tangan, pengusaha (debitur) itu hanya bisa berharap ada kelebihan dana dari hasil lelang yang dapat dikembalikan kepadanya. Untuk lebih pastinya debitur dapat menghubungi pihak bank sebagai kreditur mengenai status pinjamannya, apakah hasil lelang tersebut lebih dari jumlah kewajiban yang harus dilunasi. (nata/dar/red)