DPRD Sidoarjo Dorong Pembinaan Holistik bagi Penyandang Tuna Susila Lewat Program Motivasi dan Rehabilitasi
Sidoarjo, wartanusa.net – Ketua DPRD Sidoarjo, H. Abdillah Nasih, S.M., mengadakan kegiatan bimbingan dan motivasi bagi para penyandang tuna susila. Ia menyatakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial sekaligus memulihkan martabat mereka.
Selain itu, kegiatan ini juga dirancang untuk mendorong pembentukan pola pembinaan yang holistik melalui berbagai program motivasi dan rehabilitasi. Program ini menjadi bagian dari strategi penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), khususnya bagi kelompok rentan seperti wanita tuna susila dan eks-pelaku pelacuran.
Tuna Susila Masih Terpinggirkan
Penyandang tuna susila masih belum menjadi prioritas dalam perencanaan kebijakan sosial di Kabupaten Sidoarjo. Padahal, kelompok ini termasuk dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data PMKS serta Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial.
Dalam regulasi tersebut, PMKS mencakup berbagai kelompok rentan, di antaranya anak terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang disabilitas, tuna susila, gelandangan, pengemis, bekas warga binaan lembaga pemasyarakatan (BWBLP), orang dengan HIV/AIDS (ODHA), korban penyalahgunaan NAPZA, korban perdagangan orang (trafficking), hingga perempuan rawan sosial ekonomi dan komunitas adat terpencil.
Tuna susila, menurut peraturan tersebut, adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenis secara berulang dan bergantian di luar ikatan perkawinan yang sah, dengan tujuan memperoleh imbalan berupa uang, materi, atau jasa. Kriteria tuna susila antara lain menjajakan diri di tempat umum, rumah bordil, warung remang-remang, hotel, mal, atau diskotek, dan menerima kompensasi atas aktivitas tersebut.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur tahun 2017 mencatat, terdapat 81 orang penyandang tuna susila perorangan dan 243 kepala keluarga dengan status serupa di Kabupaten Sidoarjo.
Namun, hingga kini belum tersedia data terbaru yang bisa dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan kesejahteraan sosial di daerah tersebut.
“Sayangnya, data ini tidak masuk dalam Renstra (Rencana Strategis) Dinas Sosial sebelumnya. Padahal, pengarusutamaan data sangat penting sebagai dasar penganggaran dan evaluasi kebijakan,” ujar Ketua DPRD Sidoarjo, H. Abdillah Nasih, S.M.
Ia menilai, tanpa data yang valid dan mutakhir, upaya penanganan terhadap kelompok rentan seperti penyandang tuna susila akan sulit mencapai hasil yang optimal.
Tantangan Besar: Stigma dan Minimnya Akses Layanan
Kegiatan bimbingan dan motivasi bagi penyandang tuna susila yang digelar di Sidoarjo menyoroti sejumlah tantangan mendasar yang masih membelenggu kelompok rentan ini. Mulai dari akses layanan kesehatan jiwa yang terbatas, pendampingan sosial yang belum optimal, hingga tingginya stigma masyarakat yang membuat para eks-pelaku sulit diterima kembali dalam lingkungan sosial maupun dunia kerja.
“Stigma ini justru yang membuat mereka kembali terjerumus. Padahal, rehabilitasi sosial tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat yang inklusif,” ujar Ketua DPRD Sidoarjo, H. Abdillah Nasih, S.M.
Ia menambahkan bahwa sebagian besar penyandang tuna susila mengalami trauma dan gangguan psikologis. Namun sayangnya, belum tersedia layanan konseling atau psikoterapi komunitas yang memadai untuk menanganinya.
Intervensi Nyata: Pelatihan dan Pembinaan Psikososial
Menanggapi berbagai persoalan tersebut, pihaknya merancang program intervensi berbasis pendekatan holistik. Terdapat lima pilar utama dalam bimbingan ini yang ditujukan untuk membangun kemandirian sekaligus pemulihan mental para peserta.
“Pertama, pelatihan keterampilan hidup dan kerja. Ini mencakup pelatihan menjahit, kerajinan tangan, urban farming, serta katering sebagai alternatif ekonomi yang berkelanjutan,” jelas Abdillah.
Pilar kedua adalah pembinaan psikososial, yang meliputi konseling kelompok, terapi seni, serta penguatan nilai-nilai religius. Tujuannya adalah membantu peserta memperbaiki persepsi diri dan membangun kembali kepercayaan sosial.
Ketiga, pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang diharapkan dapat menjadi wadah kerja kolektif dan penguatan ekonomi komunitas.
Keempat, pendidikan non-formal dan program literasi yang dirancang untuk membekali peserta dengan kemampuan dasar seperti membaca, berhitung, serta keterampilan literasi digital.
Terakhir, kegiatan motivasi dan pembinaan keagamaan dilaksanakan secara berkala untuk menumbuhkan semangat hidup baru dan memperkuat nilai-nilai spiritualitas peserta.
“Saya merasa, mereka ini perlu dihargai kembali sebagai manusia. Dengan potensi dan program intervensi ini, semoga mereka punya keterampilan baru dan lingkungan yang saling menguatkan,” harapnya.
Dukungan Pemerintah Kabupaten dan DPRD
Selain pelatihan dan pembinaan psikososial, dukungan dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan DPRD menjadi bagian penting dalam upaya mempercepat perlindungan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), termasuk penyandang tuna susila.
Ketua DPRD Sidoarjo, H. Abdillah Nasih, menyatakan komitmennya untuk terus mendorong percepatan rehabilitasi sosial dan penyediaan layanan rujukan. Bentuk dukungan tersebut antara lain berupa penyediaan asrama transit, panti sosial, rumah sakit jiwa (RSJ), serta bantuan sosial seperti sembako, BLT, dan PKH. Ia juga menyoroti pentingnya pelatihan dan insentif melalui Balai Latihan Kerja (BLK), serta upaya pemutakhiran data PMKS secara berkala melalui proses monitoring dan evaluasi.
Dalam forum bimbingan tersebut, Abdillah menegaskan bahwa DPRD memiliki peran strategis melalui tiga fungsi utama: legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
“Kami terlibat dalam legislasi dan penganggaran program PMKS. Fungsi pengawasan kami jalankan melalui reses, kunjungan lapangan, dan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Sosial Inklusif. Ranperda ini diharapkan menjadi payung hukum bagi pembinaan kelompok rentan, termasuk penyandang tuna susila,” ungkapnya.
Ia menambahkan, regulasi tersebut juga akan memfasilitasi kolaborasi lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta pelaporan kinerja tahunan dari Dinas Sosial.
Model Pembinaan Holistik dan Digitalisasi Layanan
Kegiatan ini juga menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis, salah satunya adalah pengembangan model pembinaan berbasis komunitas. Dalam model ini, para eks-klien yang telah menjalani rehabilitasi akan dilibatkan sebagai mentor bagi peserta baru.
“Pendekatan sesama eks-klien lebih efektif karena mereka berbagi pengalaman nyata. Ini membangun ikatan emosional dan kepercayaan yang tidak bisa didapat dari teori semata,” ujar Abdillah.
Tak hanya itu, digitalisasi layanan juga mulai diterapkan. Platform e-learning dan kelompok dukungan daring (online support group) dikembangkan agar peserta dapat mengakses materi pelatihan dan konseling kapan saja, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari pusat layanan sosial.
Monitoring dan evaluasi program dilakukan secara berkala, dengan indikator keberhasilan yang mencakup peningkatan ekonomi, stabilitas mental, dan integrasi sosial. Proses ini juga mengikutsertakan peserta secara aktif demi memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Catatan Akhir: Melepas Label, Meraih Martabat
Lebih dari sekadar pelatihan atau bantuan sosial, kegiatan bimbingan dan motivasi yang diberikan kepada penyandang tuna susila merupakan langkah konkret untuk memulihkan martabat mereka sebagai manusia. Selama ini, para penyandang tuna susila kerap terjebak dalam stigma dan label negatif yang membuat mereka terpinggirkan dari masyarakat.
“Jangan lihat masa lalu mereka. Beri mereka kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka bisa berubah dan berkontribusi,” tegas Ketua DPRD Sidoarjo, H. Abdillah Nasih, S.M., dalam sesi penutupan kegiatan.
Kegiatan ini juga menyuarakan harapan akan hadirnya kebijakan yang lebih manusiawi, program yang terintegrasi, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat dalam menciptakan ruang sosial yang adil dan inklusif bagi kelompok rentan.
Dengan sinergi lintas sektor, pendekatan yang komprehensif, dan keberpihakan dalam kebijakan publik, Kabupaten Sidoarjo diharapkan dapat menjadi model daerah yang progresif dalam penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)—bukan dengan cara mengucilkan, tetapi dengan memberdayakan mereka.
Pada dasarnya, setiap individu berhak menjadi manusia biasa tanpa dibebani label. Mereka pun berhak memperoleh keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dukungan terhadap pemulihan dan rehabilitasi mereka juga sejalan dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2015 tentang Standar Lembaga Penyelenggara Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. Dalam regulasi tersebut, tuna susila diakui sebagai bagian dari kategori tuna sosial yang memiliki hak penuh atas rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi sosial, sebagaimana dijelaskan dalam peraturan tersebut, adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan yang bertujuan agar seseorang mampu kembali menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Adapun lembaga penyelenggara rehabilitasi sosial tuna sosial dapat dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, atau oleh masyarakat. Lembaga ini bertugas menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi sosial bagi penyandang PMKS, termasuk kelompok tuna sosial seperti tuna susila. (dar/nata/red)