Lebih dari Sekedar Asin: Kisah Garam Desa Les yang Unik

Bali, Wartanusa.net – Keindahan pesona laut di Desa Les, Kecamatan Tejakula, tidak hanya terletak pada pemandangan alamnya, tetapi juga pada proses pembuatan garam yang telah diwariskan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Di balik pasir pantai yang memutih, terdapat para petani garam yang dengan setia mempertahankan tradisi mereka.

Ketut Kirana (60), seorang petani garam telah menjalani profesi ini selama lebih dari empat dekade. Ia adalah salah satu generasi penerus yang menjaga kelestarian budaya pembuatan garam di desa ini. Setiap harinya, Ketut bersama keluarganya bekerja di lahan-lahan petakan garam, yang hanya dapat dipanen pada musim kemarau. “Kalau musim hujan, kami libur. Tapi saat kemarau, kami bekerja keras. Dalam tiga hari, kami bisa menghasilkan sekitar 50 kg garam dari 4 petak lahan,” ujar Ketut Kirana.

Proses pembuatan garam dimulai dengan membersihkan lahan dari rumput dan tanaman liar, lalu membuat petakan untuk menampung air laut. Tanah di petakan kemudian disiram dengan air laut dan dibiarkan mengering selama dua minggu. Proses pengeringan tanah dilakukan menggunakan alat tradisional yang disebut bangkrak. Setelah tanah mengering, bahan yang dihasilkan dipindahkan ke tinjung, sebuah wadah berbentuk parabola dari anyaman bambu.

Tinjung ini kemudian diinjak-injak untuk memadatkan tanahnya, memastikan bahwa air laut yang akan disiram kembali ke dalamnya tidak langsung longsor, namun mengeluarkan sari material garam. Air yang keluar dari tinjung disebut “nyah,” dan dibiarkan semalam untuk menyaring garam. Proses ini dilanjutkan dengan penjemuran nyah di bawah terik matahari selama satu hingga tiga hari, hingga membentuk kristal garam yang siap dipanen.

Garam yang telah dipanen kemudian ditampung dalam wadah yang disebut katung untuk ditiriskan, sehingga air laut yang tersisa di dalamnya bisa hilang. Garam ini siap dijual di pasar lokal, termasuk ke Denpasar dan desa-desa sekitar. Meski pada dasarnya garam memiliki rasa asin, garam dari Desa Les memiliki cita rasa yang unik.

Konsumen bernama Anggi Liani (20) menjelaskan bahwa garam dari Desa Les tidak hanya terasa asin, tetapi juga sedikit gurih, dengan rasa yang lebih lembut dibandingkan garam pada umumnya.

“Jika digunakan untuk masakan, rasanya lebih lezat, tidak sepekat garam biasa. Ini yang membuatnya berbeda dan lebih disukai banyak orang,” ungkapnya

Tradisi pembuatan garam di Desa Les bukan sekadar pekerjaan, melainkan bagian dari identitas budaya yang telah mengakar. Para petani garam di desa ini tidak hanya memproduksi garam untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjaga warisan budaya yang telah ada sejak generasi sebelumnya.

Proses pembuatan garam yang masih menggunakan cara tradisional ini menjadi daya tarik tersendiri. Bagi Ketut Kirana dan banyak petani garam lainnya, menjaga tradisi ini adalah sebuah kebanggaan. “Kami tidak hanya membuat garam, tetapi juga melestarikan budaya yang sudah ada sejak nenek moyang,” katanya dengan penuh semangat.

Dengan segala kerumitan dan keunikan prosesnya, garam Desa Les menjadi lebih dari sekadar bumbu dapur. Ia adalah bukti betapa pentingnya menjaga warisan dan tradisi di tengah arus modernisasi yang terus berkembang. (Rik , Ktt)

Penulis: Gede Arik Ardika