Dosen Hukum Unesa, Dr. Pudji Astuti, S.H., M.H., Tegaskan Peran Partisipasi Warga Negara dalam Memperkuat Kebangsaan
Surabaya, Wartanusa.net – Dr. Pudji Astuti, S.H., M.H., Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unesa turut menjadi pembicara dalam Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan oleh IKA FH Unesa, bertemakan “Hukum dan Partisipasi Warga Negara dalam Memperkuat Kebangsaan”. Acara tersebut berlangsung di Auditorium FH Unesa, Ketintang, Surabaya, pada Sabtu (26/10) pagi.
Dalam pemaparan materinya, Dr. Pudji Astuti mengungkapkan pentingnya memahami makna hukum, warga negara dan kebangsaan, yang menurutnya ada ikatan antara hukum, individu dan negara. “Makna kebangsaan itu sebenarnya adalah integritas, yaitu bagaimana kita berpikir, bersikap, dan berperilaku dengan baik dan benar, sesuai dengan prinsip-prinsip moral,” ujarnya.
Menurutnya, prinsip-prinsip tersebut diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hukum memiliki sanksi untuk mengatur masyarakat. “Hukum, masyarakat, dan negara tidak dapat dipisahkan. Hukum berfungsi mengatur masyarakat, dan jika ada pelanggaran, hukum bertindak sebagai pengontrol sosial,” tambahnya. Ia juga menekankan bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya bersifat preventif, tetapi juga represif. “Partisipasi warga negara sangat dibutuhkan oleh negara. Oleh karena itu, hukum tidak bisa lepas dari masyarakat. Di mana ada hukum, di situ ada masyarakat; di mana ada masyarakat, di situ ada hukum,” ungkapnya, mengutip adagium ubi societas ibi ius.
Lebih lanjut, Pudji Astuti menyimpulkan bahwa partisipasi warga negara sangat penting untuk memperkuat integritas atau kebangsaan, sebagaimana diatur dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Pada sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya mengenai relevansi tema “Hukum dan Partisipasi Warga Negara”, khususnya terkait dengan proses pembentukan Undang-Undang. Dalam hal ini, hukum sebagai sistem civil law identik dengan hukum tertulis, yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang dalam proses penyusunannya menggunakan prinsip meaningful participation. Sebagai contoh, polemik mengenai UU Cipta Kerja, yang secara formal dan prosedural juga diperdebatkan, dianggap tidak memenuhi syarat dan menjadi perbincangan panjang. Peserta tersebut kemudian bertanya bagaimana tanggapan Bu Pudji terkait hal ini, mengingat Indonesia juga menganut sistem demokrasi perwakilan.
Pudji Astuti menjawab bahwa, menurutnya, kata sambung ‘dan’ berarti ada dua hal yang berbeda. “Apakah hukum sama dengan partisipasi warga negara? Tidak. Hukum itu dibuat oleh DPR, dibuat oleh wakil masyarakat, itu terjadi pada saat proses pembentukannya. Namun, begitu hukum itu sudah menjadi produk, maka itu adalah dua hal yang berbeda. Seperti halnya ketika kita memasak kue, saat bahan-bahan dimasukkan itu masih belum jadi kue, tapi begitu sudah jadi kue, ya itu sudah berbeda,” ujarnya.
Menurut Bu Pudji, penggunaan kata sambung ‘dan’ tetap relevan. “Setelah hukum menjadi produk, bagaimana warga negara dapat berpartisipasi lagi? Misalnya, dalam kasus UU Cipta Kerja, jika hasilnya tidak diinginkan oleh warga negara, maka mereka bisa berpartisipasi. Jika melalui demo, wah, demo itu tidak bisa, karena demo diatur. Namun, kalian masih bisa beropini tentang hal-hal yang kalian tidak setujui. Kita sebagai mahasiswa, sebagai ahli hukum, apa yang bisa kita lakukan? Ya, kita bisa beropini. Kalau ingin memberikan pendapat atau berpartisipasi dalam bentuk lainnya yang mungkin tidak diindahkan, kalian bisa membuat opini. Dengan membuat opini, semua orang akan tahu. Makanya saya selalu bilang, jika kita menghadapi suatu masalah, kita harus cerdas. Kalau kita secara hukum tidak mampu, kita bisa mencari kekuatan lain. Kekuatan lainnya itu siapa? Ya, itu wartawan. Dengan wartawan dan media, itu juga salah satu bentuk partisipasi atau pengontrol sosial dan pemerintahan,” paparnya.
Beliau juga menyoroti pentingnya media sebagai salah satu bentuk partisipasi dan pengontrol sosial dalam pemerintahan. Media berkontribusi besar dalam mengontrol kerja pemerintah serta menjadi penyeimbang dalam menentukan arah kebijakan pembangunan.
“Menulis jurnal atau menulis opini di media adalah salah satu cara yang cerdas. Sebagai mahasiswa, terutama yang ahli hukum, untuk berpartisipasi bisa melalui tulisan, dengan tulisan kita bisa memberi solusi dan pendapat, yang bahkan bisa dibaca oleh orang di seluruh dunia,” tambahnya.
Saat ditanya mengenai peran hukum sebagai alat atau produk, Pudji Astuti menjelaskan bahwa hukum merupakan produk yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
“Hukum itu adalah produk yang kemudian dijadikan alat, dan produk ini berasal dari rakyat melalui wakil rakyat. Ingatlah, salah satu bentuk partisipasi warga negara adalah memilih wakil rakyat. Jika kalian memilih wakil rakyat yang salah, maka produk yang dihasilkan juga bisa salah. Alatnya pun tergantung pada siapa yang menggunakannya. Sebagai analogi, hukum itu seperti pisau. Jika pisau digunakan dengan baik dan benar, hasilnya akan baik; namun, jika pisau digunakan dengan cara yang salah, maka masalah akan timbul,” paparnya. Ia juga menekankan bahwa politik adalah sarana untuk mencapai tujuan, dan politik membutuhkan kekuasaan serta dukungan agar dapat berjalan dengan efektif.
Peserta lain juga mengajukan pertanyaan terkait kasus hukum, seperti pembunuhan dan pencurian, yang sering terjadi, namun masyarakat sering kali enggan terlibat atau bermasalah dengan penegak hukum, bahkan menghindari polisi. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan negara kita?
Dr. Pudji Astuti menyatakan bahwa yang perlu diperbaiki adalah moralitas. “Yang salah itu moralitasnya. Oleh karena itu, mari kita tingkatkan kebangsaan, karena kebangsaan itu integritas. Sikap dan perilaku harus bermoral. Selama ini, hanya aparat yang diganti, tetapi moralitasnya tidak pernah diperbaiki. Kenapa moral susah diperbaiki? Karena moral itu naik turun, ada dalam hati, dan sulit untuk diukur. Apakah orang yang di masjid itu baik? Belum tentu. Apakah di pesantren itu baik? Belum tentu. Apakah orang yang tidak baik selalu tidak baik? Belum tentu. Semua itu belum tentu,” ungkapnya. Pudji juga berharap agar pendidikan moral lebih ditanamkan di sekolah maupun perguruan tinggi, untuk memperbaiki moral generasi mendatang. “Yang paling berperan dalam membentuk moral adalah keluarga. Oleh karena itu, seharusnya ada upaya dari pemerintah untuk memberikan pendidikan kepada orang tua, khususnya bagi orang tua dengan anak usia golden age, agar anak-anak mereka kelak menjadi individu yang bermoral lebih baik,” tambahnya.
Terkait dengan upaya sosialisasi hukum kepada masyarakat, Pudji Astuti mengungkapkan bahwa ini harusnya menjadi tugas pemerintah, dan saat ini telah ada upaya antara lain melalui sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, baik kota/kabupaten, hingga tingkat desa. Selain itu, sosialisasi hukum juga dilakukan melalui media, serta melalui program pendidikan, seperti PKM (Pengabdian kepada Masyarakat) yang melibatkan dosen dan mahasiswa.
Menutup sesi tanya jawab, peserta bertanya tentang pandangannya mengenai presidential threshold 20%, serta calon-calon dengan rekam jejak buruk yang diusung dalam pemilu. Pudji Astuti menyatakan ketidaksetujuannya jika seseorang dengan cacat hukum tetap menduduki jabatan pemerintahan, karena hal itu berpotensi mengulang kesalahan yang sama.
Moderator acara, Pak Ali Masnun, S.H., M.H., juga menambahkan bahwa ambang batas 20% dalam presidential threshold seharusnya dipertimbangkan ulang, agar tidak hanya menguntungkan partai-partai tertentu dan calon-calon yang diusung dengan rekam jejak buruk. (nata/dar/red)