Menjaga Warna, Menjaga Warisan: Napas Seni Lukis Wayang Kaca dari Nagasepaha

Nagasepaha, Bali, Wartanusa.net — Pagi itu, sinar matahari menembus sela-sela genteng rumah di Dusun Delod Margi, menyoroti pantulan warna dari selembar kaca bening. Di atas meja kayu tua, beberapa kuas dan tinta berbaris rapi, sementara aroma cat prada perlahan memenuhi ruangan. Di tengah keheningan itu, tangan I Wayan Arnawa bergerak tenang, menorehkan garis halus di permukaan kaca. Setiap goresan seperti doa lembut—sabar dan penuh makna. Ia bukan sekadar pelukis, melainkan pewaris napas tradisi yang telah hidup di tanah Nagasepaha selama puluhan tahun.
“Tiang mulai melukis wayang kaca dari kecil, masih SD,” ujarnya sambil tersenyum tipis. Matanya tetap fokus pada kaca di depannya. Dari tangan pria sederhana itu, warna-warna lahir dan menyatu menjadi wujud cerita. Lukisan kaca baginya bukan sekadar karya, melainkan warisan yang dihembuskan oleh leluhur.
Kakeknya, Jero Dalam Diah, adalah perintis seni lukis kaca di desa ini—sosok yang meletakkan dasar bagi perjalanan panjang tradisi yang kini dijaga Arnawa dengan sepenuh hati. “Kakek tiang pelukis pertama di keluarga. Sekarang tiang yang nerusin,” katanya lirih.
Seni lukis kaca di Nagasepaha dikenal karena prosesnya yang unik dan penuh filosofi. Semuanya dimulai dari selembar kaca bening, lalu perlahan diberi kehidupan melalui tahapan yang presisi. Arnawa memulainya dengan membuat sketsa, kemudian melukis dari sisi belakang kaca—teknik yang dikenal sebagai nyawi.

Urutannya tak boleh salah: pertama prada emas sebagai dasar, lalu putih, merah muda (hasil campuran merah dan putih), biru muda (dari biru dan putih), disusul kuning, merah, dan biru tua. Setiap warna ditempatkan dengan kesadaran tinggi, karena satu kesalahan kecil saja berarti harus memulai kembali dari awal. “Kalau sudah kena kaca, tidak bisa dihapus. Jadi harus sabar, harus hati-hati,” tuturnya pelan.
Proses itu bukan hanya menuntut ketelitian, tapi juga kesabaran yang hampir menyerupai meditasi. Arnawa bekerja dalam diam, hanya ditemani gemerisik kuas dan cahaya pagi yang menembus kaca. Di tangannya, tokoh-tokoh wayang seperti Rama, Sinta, dan Rahwana seolah hidup kembali—bukan sekadar gambar, tapi kisah suci yang tertanam dalam budaya Hindu Bali. Setiap goresan warna mengandung nilai, dan setiap garis adalah bentuk penghormatan terhadap kearifan yang diwariskan turun-temurun.
Seiring berjalannya waktu, peralatan yang digunakan pun sedikit berubah. Dulu, tinta batangan dan alat bak menjadi sahabat setia para pelukis. Kini, pena Snowman dan tinta cair memudahkan proses tanpa mengubah maknanya. “Sekarang pakai pena saja, biar lebih rapi. Tapi cara dan urutannya tetap sama,” kata Arnawa sambil mengusap kaca dengan lembut. Ia percaya bahwa perubahan alat hanyalah bagian kecil, karena yang utama adalah niat dan ketulusan dalam berkarya.
Desa Nagasepaha sendiri telah lama dikenal sebagai pusat seni lukis kaca di Bali. Di setiap sudutnya masih dapat dijumpai keluarga yang mewariskan keahlian ini dari generasi ke generasi. Seni lukis kaca di sini bukan hanya kerajinan tangan, melainkan bagian dari jiwa masyarakat. Ia hadir dalam upacara, hiasan pura, bahkan dalam kisah yang diwariskan lewat cerita rakyat.
Ciri khas lukisan Nagasepaha tampak pada warna-warna cerah, garis yang tegas, dan tema spiritual yang kental—menjadi refleksi dari kehidupan masyarakat Bali Utara yang religius dan penuh harmoni.
Keindahan karya ini pun diakui secara luas. Seni Wayang Kaca Nagasepaha telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB)—sebuah pengakuan atas keunikan dan nilai luhur tradisi yang dijaga dengan penuh kesetiaan. Namun bagi Arnawa, penghargaan terbesar bukanlah sertifikat atau pengakuan, melainkan keberlanjutan tradisi itu sendiri. “Kalau tiang berhenti, berarti putus sudah warisan kakek,” ucapnya sambil menatap pantulan wajahnya di atas kaca.
Di balik beningnya kaca yang ia lukis, tersimpan kisah panjang tentang ketekunan, dedikasi, dan cinta terhadap budaya. Dari ruang sederhana di Nagasepaha, seni lukis kaca terus hidup—seperti cahaya pagi yang menembus permukaan kaca, memantulkan keindahan yang abadi dari masa lalu menuju masa depan. (ktt/nata/dar/red)
