Dunia Pekerja Film yang Diombang-Ambing: Antara Idealisme Karya Seni dan Keuntungan Pribadi
Sidoarjo, wartanusa.net – Industri film merupakan salah satu sektor kreatif yang memiliki potensi besar untuk menyampaikan pesan sosial, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, dalam perjalanan pengembangannya, pekerja film sering kali dihadapkan pada dilema antara idealisme karya seni dan tuntutan untuk menghasilkan keuntungan.
Di balik layar, pergeseran fokus dari produksi seni ke kepentingan komersial sering kali mengorbankan nilai-nilai artistik dan kesejahteraan para pekerja. Opini ini akan membahas bagaimana dunia pekerja film saat ini terombang-ambing di antara dua kutub ini.
Realitas Pekerja Film
Berdasarkan data dari Asosiasi Perfilman Indonesia (APFI), industri film di Indonesia menyumbang sekitar Rp 1 triliun per tahun terhadap PDB nasional. Namun, meski memiliki potensi ekonomi yang besar, banyak pekerja film yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut survei oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2021, lebih dari 60% pekerja film mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak dari mereka yang terpaksa menerima upah rendah dan tidak memiliki jaminan sosial.
Idealisme Karya Seni
Karya seni, termasuk film, seharusnya memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan yang kuat dan menggugah kesadaran masyarakat. Film dapat menjadi alat untuk membahas isu-isu sosial, politik, dan budaya yang sering kali terabaikan. Beberapa film Indonesia yang berhasil menyampaikan pesan mendalam dan menginspirasi, seperti “Laskar Pelangi” dan “Ada Apa dengan Cinta?” dan beberapa film yang berkualitas lainnya, hal ini menunjukkan bahwa idealisme dalam film dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Namun, ketika industri film semakin dikuasai oleh kepentingan ekonomi, idealisme tersebut sering kali terpinggirkan. Produksi film yang seharusnya berfokus pada kualitas cerita dan nilai-nilai moral sering kali berubah menjadi ajang untuk mengejar keuntungan. Dalam banyak kasus, produksi rumah (production house) lebih memilih untuk membuat film yang “aman” secara komersial, yang memiliki potensi pasar besar, daripada mengeksplorasi tema-tema yang lebih kompleks dan mendalam.
Keuntungan Pribadi dan Elitisme
Fenomena ini menciptakan kondisi di mana kelompok elit di industri film, terutama produser dan pemilik studio, mengambil keputusan berdasarkan kepentingan finansial pribadi. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Hollywood Reporter, dijelaskan bahwa produser yang mengutamakan keuntungan sering kali mengabaikan suara kreatif para pekerja film, termasuk sutradara dan penulis. Mereka lebih tertarik pada formula yang terbukti sukses secara komersial, alih-alih memberikan ruang bagi eksperimen artistik.
Kondisi ini tidak hanya merugikan pekerja film, tetapi juga penonton. Ketika film-film yang dihasilkan tidak menggugah pikiran atau emosional, masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang mendalam melalui seni. Sebuah studi oleh Nielsen (2022) menunjukkan bahwa penonton semakin kritis terhadap film yang dianggap tidak orisinal dan hanya mengejar keuntungan, yang berdampak pada penurunan minat mereka untuk menonton film di bioskop.
Tuntutan untuk Perubahan
Dalam menghadapi dilema ini, penting untuk mendorong perubahan dalam industri film. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memberikan lebih banyak ruang bagi pekerja kreatif untuk berbicara dan berkontribusi dalam proses produksi. Produksi rumah harus menghargai visi dan ide dari sutradara dan penulis, sehingga film yang dihasilkan tidak hanya mengejar keuntungan semata, tetapi juga memiliki nilai artistik yang kuat.
Selain itu, perlu ada kebijakan dari pemerintah dan lembaga terkait untuk melindungi hak-hak pekerja film. Pembentukan serikat pekerja film yang kuat dapat menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa suara pekerja didengar dan hak-hak mereka dilindungi. Hal ini juga dapat membantu dalam meningkatkan upah dan kondisi kerja yang lebih baik bagi seluruh tenaga kerja di industri film.
Kesimpulan
Dunia pekerja film saat ini memang berada dalam posisi yang sulit, terombang-ambing antara idealisme karya seni dan keuntungan pribadi. Untuk memastikan bahwa industri film tidak hanya menjadi ajang mencari profit, tetapi juga tetap menghargai nilai-nilai seni, semua pihak perlu berkolaborasi. Ini termasuk pekerja film, produser, pemerintah, dan penonton. Hanya dengan cara ini, kita dapat menciptakan ekosistem film yang sehat dan berkelanjutan, di mana karya seni dapat tumbuh dan berkembang tanpa terpengaruh oleh kepentingan ekonomi yang sempit.
Opini oleh : Ariyanti Lady Sakinata, S.H
Foto : Foto merupakan gambar ilustrasi yang menggambarkan kegiatan para pekerja film oleh https://unsplash.com/@seemurray